Posted by goresan refleksi on Wednesday, June 24, 2020 in Teknologi Sains | No comments

Pada tahun 1935, Erwin Schrödinger (1887-1961)
seorang Fisikawan yang berasal dari Austria sekaligus bapak fisika kuantum
menciptakan kucing imajiner yang disebutnya sebagai kucing Schrödinger. Kucing
imajiner ini diciptakan Schrödinger melalui ekperimen dalam pikirannya. Dia
membayangkan seekor kucing dan botol kecil yang berisi racun dimasukkan ke
dalam sebuah kotak. Jika ada aktivitas peluruhan radioaktif dari racun dalam
botol tersebut, maka racun itu akan jatuh dan membunuh si kucing. Aktivitas
radioaktif tersebut mamakai prinsip fisika kuantum yang berisi probabilitas
(antara meluruh dan tidak meluruh) atau dikenal juga dengan istilah
superposisi.
Schrödinger yang mengamati dari luar kotak tentu
tidak tahu apa yang sedang terjadi di dalam. Apakah si kucing hidup? Apakah si
kucing mati? Pertanyaan ini memiliki jawaban superposisi. Schrödinger
menyimpulkan bahwa si kucing di dalam kotak dalam keadaan hidup dan mati secara
bersamaan. Bagaimana mungkin ada keadaan mati dan hidup secara bersamaan.
Inilah paradoks kucing Schrödinger tersebut.
Jika mengibaratkan kisah kucing Schrödinger dengan
wabah COVID-19 saat ini, maka manusia yang menjadi kucing
tersebut. Manusia berada dalam kondisi superposisi. Pemerintah dibuat pusing
dalam mengambil kebijakan untuk memutus rantai penyebaran COVID-19. Berbagai
opsi bermunculan seperti lockdown atau karantina Jika karantina
dilakukan, maka secara bersamaan kegiatan ekonomi akan lumpuh. Seruan lain yang
sering digaung-gaungkan adalah untuk tetap berada di rumah, bekerja dari rumah,
dan diam di rumah. Di sisi lain, untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti sandang
dan pangan kita harus keluar rumah. Inilah bentuk kondisi mati dan hidup secara
bersamaan ala kucing Schrödinger.
Sampai saat ini wabah COVID-19 di dunia telah
banyak memakan korban. Mulai dari anak-anak sampai orang dewasa bahkan tim
medispun menjadi korban, di mana sudah menelan banyak jiwa. Banyaknya tim medis
yang menjadi korban dikarenakan mereka terpapar oleh pasien yang positif
terkena COVID-19. Akumulasi paparan dari pasien membuat mereka menjadi korban
juga. Seakan-akan kondisi ini seperti keadaan serba salah untuk bertindak, jika
tidak obati pasien mati, jika diobati tim medis yang mati. Ini juga paradoks
kucing Schrödinger pada kasus penanganan wabah COVID-19 di dunia.
Bentuk lain paradoks kucing Schrödinger adalah bagi
para pekerja harian, seperti pedagang kaki lima, buruh harian, pengendara ojek
online maupun ojek pangkalan dan lain sebagainya. Mereka menggantungkan hidup
dari pengahasilan tiap hari. Jika tidak keluar rumah, maka mereka tidak makan.
Jika keluar rumah ancaman virus di mana-mana. Kondisi sulit ini terjadi secara
bersamaan. Keputusan untuk tetap berada di rumah adalah bentuk menghindari
paparan virus namun disaat bersamaan paparan kelaparan menggerogoti mereka.
Begitu juga sebaliknya.
Satu lagi hal menarik yang dapat kita amati adalah
banyaknya pasien maninggal yang dikubur dengan protap COVID-19. Pasien tersebut
meninggal sebelum keluar hasil tes swabnya. Apakah pasien tersebut positif
terinfeksi corona? Kita tidak akan benar-benar tahu sebelum kotak dibuka (ada
pengamatan). Sebelum ada hasil tes yang keluar, kita tidak benar-benar tahu
apakah pasien tersebut positif atau negatif. Posisinya adalah separuh positif
dan separuh negatif. Lalu apakah kita sebagai kucing Schrödinger akan hidup
atau mati dalam melawan COVID-19 ini? Tidak seorangpun yang tahu sebelum kotak
dibuka (wabah ini berakhir). Artinya dalam hidup ini kita tidak ada dalam
posisi setengah hidup atau setengah mati. Yang ada adalah persentase hidup dan
mati adalah 50 persen atau dengan kata lain kita hidup dan mati secara
bersamaan.
0 komentar:
Post a Comment